Selasa, 10 Maret 2009

Mengapa David Hartanto bunuh diri?

Maaf sebelumnya, ini blog rada ngalor-ngidul, tapi biarlah, saya "gregetan " kepingin nulis artikel ini, semoga bermanfaat.

Ketika pertama mendengar berita ini dari televisi, saya berpikiran "biasa, seperti berita kriminal lainnya, setiap hari pasti ada yang meninggal dibunuh, bunuh diri, atau kecelakaan". Tetapi begitu mendengar yang meninggal adalah seorang mahasiswa berprestasi cemerlang, bunuh diri (atau dibunuh?) saya jadi prihatin. Prihatin karena kerja keras David selama ini menjadi sia-sia, mejadi anak pintar, cerdas tentu suatu kebanggaan, kebanggaan keluarga dan kebanggaan negara. Tapi kok akhirnya jadi begini? Seperti akhir dari sebuah film, penonton disuguhkan akhir yang "tidak happy".

Yang membuat saya prihatin, mengapa sebuah institusi formal seperti sekolah yang jelas-jelas mencetak manusia "pintar " seringkali mempunyai cerita kelabu didalamnya. Kematian seseorang di sekolah menurut saya bukanlah sesuatu yang bisa ditolerir. Kalau meninggal karena sakit atau kecelakaan (seperti kebakaran) itu memang kehendak Yang Kuasa, tapi bila seseorang meninggal bunuh diri, dibunuh sengaja ataupun tidak disengaja, bukanlah sesuatu yang bisa ditolerir. Cerita kelabu tentang sekolah ini bukan hanya mengenai David, sekolah tinggi lainnya seperti ITB, STPDN juga menyimpan cerita yang menyedihkan, meninggal karena mengikuti kegiatan di sekolah. Kegiatan apa? saya tidak tahu, anda bisa menyimpulkan sendiri kegiatan apa yang bisa menyebabkan seseorang berujung pada kematian.

Membaca blog Margarita, saya amat sangat-sangat sedih. Benarkah hati manusia sudah tidak ada artinya? Yang ada hanya kerja keras dan prestasi? Saya jadi teringat masa-masa ketika anak saya berumur lima tahun, itu berarti saya melihat tiga tahun kebelakang. Saya terkejut, melihat sistem pendidikan anak-anak TK sekarang. Masuk SD harus sudah bisa membaca dan menulis. SISTEM PENDIDIKAN APA INI?. Teman saya sampai "tega" menorehkan pinsil yang berujung tajam hingga tangannya berdarah disekolah, karena anaknya capek menulis, anak saya sampai "didoakan putus tangannya" oleh gurunya, karena tidak mau menulis. Anak saya sempat lari dari rumah temannya, ketika itu temannya Dion (bukan nama sebenarnya) dipukuli kakinya hanya karena Dion senang bermain, tidak mau belajar, dan akhirnya mendapat nilai merah. Saya melihat sendiri, bagaimana seorang ibu merasa resah ketika anaknya yang akan masuk SD belum bisa baca tulis, yang membuat ulah disekolah tapi dirumah adalah tipe anak manis, bagaimana seorang ibu kebat-kebit, pusing tujuh keliling, karena anaknya hampir selalu dapat nol dalam mata pelajaran Bahasa Mandarin.

Mungkin saya terlalu berlebihan mengkaitkan David Hartanto dengan kondisi teman-teman anak saya, tapi ini, saya yakin, ini hanya sebagian kecil kisah nyata dari banyaknya kasus anak yang tidak happy dengan sistem pendidikan yang ada, yang tidak cocok dengan keadaan sekolah. Pendidikan sayapikir, mestinya dilakukan atas dasar rasa senang, senang menuntut ilmu disekolah, senang dengan pelajaran yang ada. Dan itu harus diimbangi dengan imbalan yang seimbang. Jangan sampai ungkapan seperti ini kemudian muncul: Capek-capek aku belajar, kok dapatnya begini....atau mungkin, aku belum mampu baca tulis jangan dipaksa dong...

Akhirnya, yang terpenting, jangan lupa bahwa belajar itu adalah suatu proses. Proses jangka waktu yang lama, yang kadang tidak bisa diukur hanya dengan nilai 0 sampai 10 atau A sampai F.

1 komentar:

Nitta mengatakan...

Duh.. baca ini aku jadi ingat mbak.. selama ini kalo anakku ulangan, yang ribut malah ibu-ibunya... jadi seakan2 yang ulangan ibunya...
Banyak guru sekarang juga gak lagi memberi contoh yang baik, hanya asal ngajar dan ngajar... nilai dan nilai.. hiks... Aku setuju banget mbak bahwa belajar harus didasari rasa seneng..

 

blogger templates | Make Money Online